Selasa, 18 November 2014

Soft Skill untuk Lean Manufacturing

Banyak sahabat saya menanyakan kepada saya saat beralih profesi menjadi seorang trainer, saya banyak mempelajari soft skill untuk menyeimbangkan technical training yang saya berikan

Untuk menggerakan seseorang melakukan sebuah perbaikan, kita dapat membangun mentalnya untuk siap berubah. Terinspirasi tulisan Mark Graban di blognya yang berjudul More Trust, Less Fear, pakar Lean Wiljeana Glover mengemukakan tentang kebiasaan para praktisi dan pakar mengabaikan pentingnya arti soft skill dalam implementasi metode Lean di organisasi. Menurutnya, lebih mudah mendeskripsikan dan menonjolkan pentingnya kemampuan teknis dibandingkan soft skilluntuk kesuksesan implementasi Lean. Berikut beberapa alasannya:
Makna “Soft Skill” Masih Bias
Ketika mendengar kata “soft skill”, beberapa orang akan langsung terbayang mengenai sesuatu yang lunak, fleksibel, sulit diukur dan didefinisikan dengan pasti. Seperti ini:
SHIFT SSCX soft skill lean six sigma
Namun, menurut Glover, seharusnya inilah yang orang pikirkan ketika mendengar kata “soft skill” (fondasi yang kokoh untuk menopang bangunan di atasnya):
SHIFT SSCX soft skills lean six sigma foundation

Inilah dasar pemikiran Glover:
Soft skill” dapat dideskripsikan sebagai kemampuan sosial dan motivasional, perilaku dan kemampuan dari seseorang atau suatu kelompok untuk melaksanakan tugas. Kebiasaan yang berkembang di lingkungan profesional kita, menurut Glover, adalah menempatkan “soft skill” (seperti kepercayaan diri, integritas, keyakinan, empati, adaptabilitas, dan kemampuan kontrol diri) di tempat kedua setelah kemampuan teknis, alias kurang penting. Kenyataannya, para praktisi dan akademisi dari berbagai disiplin ilmu telah menemukan bahwa ternyata soft skillmemiliki dampak yang signifikan terhadap kinerja proses/pekerjaan apapun yang melibatkan manusia.
Contohnya, sistem sosioteknikal (STS) yang belakangan ini berkembang di organisasi menekankan pentingnya optimasi yang setara antara tugas atau lingkungan teknis dengan sistem sosial yang ada di organisasi. Sistem sosioteknikal sendiri dalam konteks pengembangan organisasi adalah pendekatan untuk perancangan kerja organisasional yang kompleks, yang membutuhkan interaksi antara manusia dengan teknologi di tempat kerja.
Sayangnya, dampak “soft skill” atas kesuksesan inisiatif Lean belum sepenuhnya dipahami.
Menurut opini Glover, mayoritas orang sudah memahami pentingnya soft skill, bahkan mereka paham bahwa soft skill kadang lebih penting dari kemampuan teknis. Namun implementasi dari pemahaman inilah yang masih sulit. Pasalnya, soft skill adalah sesuatu yang sulit untuk ditumbuh-kembangkan, diukur, dan sebagainya. Akibatnya, kita sering lebih memilih untuk mengabaikannya.
Penyebab kedua istilah soft skill sering dianggap telalu abstrak. Untuk mengatasinya, Glover menyarankan untuk menetapkan istilah-istilah untuk mendefinisikan kemampuan-kemampuan tersebut dalam bahasa organisasi walaupun definisi yang umum (seperti kepercayaan diri, integritas, dan sebagainya) sebaiknya tetap dipakai.
 dikutip dari SHIFT Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar